Mengenang Pertemuan Sakral

Paris menjadi satu-satunya kota yang tak lekang dari benak saya. Saya mengantongi banyak nostalgia dari tempat itu. Louvre Museum. Arc de Triomphe. Dan kafe-kafe yang berbaris di sisi trotoar. Hal yang paling ingin saya kenang adalah pertemuan kami.

Rue Montorgueil yang riuh-rendah. Sore itu langit Paris berpoles kelabu yang perlahan menghitam. Petang dan murung. Saya menilik arloji di pergelangan tangan. Masih terlalu awal untuk menuju malam. Namun, langit makin mengabu. Awan berduyun-duyun merapatkan diri satu sama lain. Bersiap untuk menitikkan tangis. Saya harus bergegas kembali ke penginapan, pikir saya kala itu. Saya sudah merapatkan mantel yang makin kaku. Kaki-kaki saya siap beranjak dengan gesit dari tempat itu.

Namun, sepasang mata saya yang sedikit mengabur kala itu tidak sengaja menjumpai kamu. Seorang musisi jalanan yang tengah menggelar pertunjukan musikal seorang diri. Hanya kamu yang masih berlagak tenang di sepanjang trotoar itu. Hanya kamu yang terlihat mengacuhkan percik air yang mulai terjun perlahan. Kamu masih berdiri dengan tubuhmu yang sedikit berayun ke sana ke mari mengikuti lantunan violin yang kamu lakonkan dengan apik. Kedua kelopak matamu terkadang memejam dengan lembut. Di sela-sela permainanmu, kamu selalu berusaha melahirkan senyum. Senyum yang tidak terlalu lebar. Senyum yang tidak sampai menyentuh sudut bibir. Namun, tidak ada paksaan yang terlihat dalam senyummu yang menawan. 

Tanpa sadar saya telah bergeming di sana selama beberapa saat. Tungkai-tungkai saya seolah membatu dan tak bisa bergerak sejengkal pun. Mata saya terus memandangi kamu, seolah telah sepenuhnya terpatri pada sosokmu. Saat itu saya baru memahami seruan kalbu saya bahwa saya telah jatuh cinta padamu. Bersamaan dengan permainan violinmu yang telah menemui ujung. Saya sempat memberikan apresiasi saya dengan bertepuk tangan, sementara rinai makin lantang menghujani tubuh saya yang mulai menggigil. Lalu kamu akhirnya menyadari kehadiran saya yang telah basah kuyup dengan mantel cokelat tua yang kebesaran. Tidak pernah saya duga kamu akan dengan sigap menghampiri sosok saya dengan segenggam kembang gula warna-warni. Sejenak, tubuh semampaimu berdiri di hadapan saya. Lalu kamu membungkuk dengan sopan berkali-kali. Tak akan terbesit di kepala saya bahwa kamu akan menerbitkan senyum untuk saya. Kali ini senyum yang lebih lebar. Sampai menyentuh sudut bibir. Dan baru saya sadari ternyata kamu mempunyai lesung pipi. Manis sekali. Kamu sangat tampan.

"Merci beaucoup," ungkapmu sembari menyerahkan kembang gula yang berada di genggamanmu.

Saya mengangguk pelan. Masih terkesima dengan pribadimu. 

"Maaf telah membuatmu kehujanan."

"Bukan salahmu. Saya memang ingin menikmati permainanmu."

Saya lihat kamu berlari kecil menuju panggung pertunjukan kecilmu, mengambil jaket tebal dari dalam tas besar yang telah usang.

"Kamu akan kedinginan. Pakailah ini." Kamu menyodorkan jaket tebal berwarna hitam, besarnya seukuran tubuhmu. 

"Merci beaucoup." Saya tersenyum dengan sedikit menunduk segan.

"Kamu harus segera pulang."

"Bagaimana dengan jaketmu?"

"Buatmu saja. Tidak apa. Terima kasih telah menyaksikan pertunjukan saya." 

Dan ternyata, itu adalah kalimat terakhir yang saya dengar dari kamu. Saat itu juga pertemuan pertama dan terakhir kami yang berlangsung dengan singkat. Saya masih menyimpan jaket hangatmu dengan baik, bahkan aromanya masih sama seperti aromamu pada saat kami bersua. Kayu manis yang membaur dengan dedaunan mint. Saya ingin kembali lagi ke Paris. Saya sangat ingin berjumpa dengan kamu lagi, Beau.

Komentar

Postingan Populer