Pementasan Musik yang Penuh Tanda Tanya

Yogyakarta, menjelang dini hari, 21 Desember 1997

Malam ini, saya bertekad menyempatkan diri saya untuk mendatangi sebuah kedai temaram—lebih mirip seperti slow bar— tujuannya? Untuk menyaksikan pagelaran musik yang dia juga rekan-rekannya lakonkan. 

Gitar, violin, saxophone. Saya bisa mengamati dengan gamblang, mereka semua diletakkan secara tegak di sisi kanan panggung. Saya bahkan tidak tahu-menahu berapa lama dia dan rekan-rekannya melakukan persiapan untuk malam ini.

"Datanglah besok, sejatinya saya mengharapkan kehadiranmu," katanya penuh keinginan petang itu. Saat tubuh kita saling bertumpu di hadapan salah satu lukisan karya Affandi bertajuk Bunga Kana, yang saat itu dipamerkan pada lorong-lorong hening sebuah galeri seni di kota ini.

Ya, saya pasti akan datang. Saya akan jadi presensi pertama yang hadir di sana. Saya akan jadi pemirsa yang paling sumringah di ruang itu. Saya bisa menjanjikan itu.

Akhirnya, saya dapat mengindra sosoknya yang tengah melangkah menuju kotak panggung, bersiap di atasnya dengan tawa gugup yang beberapa kali meleleh dari sepasang bibirnya.

"Pementasan kami malam ini dipertunjukkan untuk seseorang yang sayangnya belum berkenan untuk menikmati secara langsung pada kesempatan kali ini." Dia memberikan tuturan singkat sebagai permulaan. Senyumnya kini bermekaran di sana, wajah rupawan yang tengah bersemi.

Kepalanya bahkan tak berpaling sekali pun untuk menjumpai pribadi saya yang masih terduduk kaku di jejeran bangku deret pertama. Sepasang matanya yang teramat hidup tak berusaha memburu keberadaan saya yang tengah mengamati dirinya dengan tatapan mendamba.

Ah, sepertinya bukan saya. Saya seharusnya sudah menduganya, bukan?

Tidak akan pernah, selamanya.

Komentar

Postingan Populer