Sekaleng Bir dan Kepulangan


Malam ini tampaknya masih sama seperti kemarin-kemarin, tak ada yang berubah, mungkin hanya menu sarapan dan makan siangku (aku selalu melewatkan makan malam). Aku masih memakai setelan yang sama semenjak satu pekan yang lalu, masih menandaskan satu botol wiski di ruang baca, mengganti air di vas bunga kesayangannya, dan memakai pelembab bibir vanila sebelum tidur.

Aku tidak pernah mengharapkan apapun, termasuk kepulangannya (tapi aku yakin ia pasti tetap mengunjungiku malam ini). Aku hanya ingin segera terlelap walau tak ada rasa kantuk, lebih tepatnya aku ingin segera memejamkan mata.

Aku mematikan lampu kamar, menyalakan lampu tidur yang berada tepat di sisi ranjang, meletakkan segelas air dingin di nakas, dan menarik selimut secara acak sebelum berusaha menenggelamkan kesadaran yang kenyataannya terlalu sulit. Kedua mataku masih berkedip-kedip memandang atap krem yang dilukis mirip The Water Lily Pond milik Claude Monet, saat kudengar gerbang depan terbuka bersamaan dengan gerungan mobil yang mendekat (ia memarkirkannya di garasi kami)

Sekarang pukul sepuluh malam, dia datang lebih awal dari biasanya. Aku masih berusaha memejamkan kedua kelopak mataku, tapi malah terkesan seperti dipaksakan (siapapun pasti tahu kalau aku sedang pura pura tertidur). Selang beberapa saat, kudengar derit pintu kamar yang dibuka. Kaki-kakinya berjalan mendekat ke ranjang, langkahnya berat. Aku bisa mendengar suara sepatunya yang belum sempat dilepas, menapak pada ubin.

“Selamat malam,” katanya hangat tepat di telingaku

Aku masih menahan pejaman mata yang seolah memberontak, melipat bibir yang terasa berminyak karena pelembab bibir yang sebelumnya aku pakai. Aku bisa mengetahui ia perlahan menarik selimutku sampai pangkal leher, menghidupkan pendingin ruangan yang disetel pada angka dua puluh tujuh, dan memberikan aromaterapi yang seketika menjalar ke seluruh penjuru ruangan. Itu sudah menjadi rutinitasnya.

Namun, kali ini ia memutuskan untuk bertahan lebih lama dengan duduk di sisi ranjang, membuka kaleng bir yang terdengar seperi suara desisan di telingaku, dan menenggaknya tergesa tanpa jeda. Ia tidak berkata apapun, yang terdengar hanya embusan napasnya dan sesekali suara tegukan alkohol yang berhasil melewati kerongkongannya.

Selama beberapa saat, bibirnya yang hangat secara bergantian mendarat di kedua kelopak mataku yang terkatup. Lalu merapikan poni depanku yang kian panjang. Aku tahu ia sempat memandangi wajahku selama beberapa saat, tapi aku tetap bergeming dengan kepala yang hampir tenggelam pada selimut tebal beraroma kayu manis.

“Aku akan kembali.”

Kalimat terakhirnya selalu seperti itu, setiap malam selama lima tahun.

Komentar

Postingan Populer