Mengunjungi Kegamangan


Malam itu, menjelang dini hari, kulihat dia masih berdiam di studio rekaman miliknya. Aku tidak tahu-menahu mengenai apa yang ia lakukan di dalam sana. Anjing cokelat dengan telinga lebar yang melambai-lambai berlari memasuki ruangan. Menerobos paksa dengan kekuatannya yang tak seberapa (mengingat usianya yang terlampau matang).

“Aru!” katanya, setelah dikejutkan oleh kehadiran makhluk mungil yang selalu menjulurkan lidahnya antusias. Sama seperti kali ini.

Dia tersenyum, simpul. Sebentar saja. Melepas pandangan dari layar super lebar (terlihat beberapa dokumen yang diurutkan sesuai abjad). Lalu berjongkok untuk menggapai anjing uzur yang tampak sedang mengatur sirkulasi napasnya. Mengelus kepalanya yang dipenuhi bulu.

Lalu aku turut bergabung, mengambil peran. 

Aku membuka pintu, beringsut mendekatinya. Dengan perlahan. Berdiri di sana, menatapnya kosong dengan bibir terkatup kaku. Mungkin dia belum menyadari kehadiranku, tapi aku masih menanti. 

“Gendhis."

Dia menyadari. Akhirnya. Tidak butuh waktu lama. Seperti biasanya.

Dia mengalihkan fokus dari Aru yang kali ini enggan menggonggong. Bukan menuju presensiku, tapi sebuah bingkai kusam yang menggelantung di salah satu sudut ruangan. Tepat di samping setangkai marigold segar yang selalu ia beli di hari selasa dan kamis. Aku masih mengingatnya. Hari kelahiranku dan hari pernikahan kita.

Tanpa sadar aku tersenyum, walau masih bergeming. Mengamatinya yang sedang melamun sendu. Aku turut menoleh, mengamati potret diriku yang terlihat kalem dan ayu di sana. Terlihat juga cincin pernikahan kita yang terbaring tenang. Ia sengaja meletakannya di sana. Tidak, hanya milikku. Dia masih memakainya, masih terlihat sama seperti saat upacara pernikahan kita baru dilangsungkan.

“Bagaimana harimu? Aku sangat merindukanmu.”

Dia selalu mengatakan itu setiap aku berkunjung kemari. Tidak berubah. 

“Aku tahu kau di sini, ini jadwal kunjunganmu, sayang.”

Aku mendekatinya, mengecup ringan kening lebarnya (kurasakan guratan-guratan usia di sana) sembari tersenyum. Mataku memejam saat ia mengembuskan napas. Terasa hangat dan penuh cinta. 

“Mas Banyu …” panggilku sebelum kulanjutkan lirih penuh getir. “Ini kunjungan terakhirku.”

“Malam ini, kamu bisa segera melepaskanku.”

Komentar

Postingan Populer