Kita Berjumpa Dua Kali Dalam Satu Dekade



Sepuluh tahun sudah terlampaui. Tepat hari ini, saya menggelar perayaan kecil buat kamu, Mas. Perjumpaan pertama kita. Mungkin kamu nggak mengingatnya. Nggak apa, saya masih bisa maklum. Selama kamu masih bisa membayangkan bagaimana rupa saya, saya masih tetap mendamba kamu.

Hari itu saya hanya iseng mengunjungi Triwindu. Sendirian dan masih naik andong. Kuno sekali ya, Mas? Tapi ternyata keisengan saya dihargai Tuhan. Sore itu, menuju pukul lima. Saya bertemu kamu. Kamu terlihat seperti pendar rembulan yang memercik dari kungkungan temaram.

9 Maret 2011. Pasar Triwindu, Surakarta.

"Mbak, maaf. Kiosnya sudah mau tutup.”

Itu kamu. Kamu yang memulai jalinan konversasi kita.

Saya jelas terkejut, tapi untungnya genggaman saya pada piring keramik bercorak vintage yang sudah separuh kumal nggak mengendur. Saya langsung merasa bersalah, karena saya pikir kamu yang bertugas untuk jaga kios.

"Mas yang jaga di sini, ya?"

Saya kembali bungkam. Mengamati gelagatmu yang agak kikuk setelah saya menyodorkan tanya. Gerak tubuhmu tampak kaku. Saya sempat membatin, apa saya salah ucap, ya?

Dan ternyata benar.

Saya makin diguyur rasa bersalah.

"Waduh, bukan, Mbak. Saya juga pengunjung, kok."

Kamu masih senewen. Saya bisa melihatnya. Mungkin kamu masih mengais kalimat yang patut untuk diberikan pada saya sebagai penjelasan. Tapi, kamu merenung lama sekali. Rasa gak enak saya semakin menjadi-jadi.

"Bapak yang jaga kios lagi beli nasi di warung pojok."

"Kebetulan tadi saya pas di sini, jadi beliau nitip kios ke saya," sambungmu pelan dan hati-hati, seolah takut jika kesalah-pahaman ini terus berlanjut.

Saat itu memang ada ragu yang menyelinap ke diri saya. Masa iya, kamu yang jaga kios? Kamu terlihat sangat terawat, bahkan awalnya saya mengira kamu keturunan Tionghoa yang sering lalu-lalang di kota ini. Tapi, ternyata saya salah menerka, lagi. Kamu wong Jowo, tulen. Sama seperti saya. Tapi mungkin kita memang beda kasta, ya, Mas?

Masih terkenang jelas. Enggan memudar ataupun memburam, sedikit pun. Saya masih sempat meletakkan barang ringkih yang saya yakin nggak akan terpakai jika saat itu saya jadi memboyongnya pulang. Kamu masih menerawang, menghadap saya. Tidak menggerakan rangka. Bergeming di antara kungkungan lampu-lampu gantung yang ujungnya mencekal langit-langit kios. Di tengah-tengah perkakas antik yang berkerumun menadah atensimu. Kamu terlihat mencolok, tentu saja. Sepenuhnya merenggut minat saya pada barang-barang klasik yang tinggal separuh.

Kamu mencegah saya yang sudah berniat untuk pamit. Bertanya segan pada saya, sedikit terbata dengan kembar netra yang enggan tersemat pada rupa saya. Lucu sekali. Saya hampir terkekeh gemas, tapi saya harus meredamnya.

"A-apa bisa temani saya sebentar? Sampai yang punya kios kembali."

"Tidak akan lama, saya janji."

Ternyata kamu cukup penakut, ya.

Kalau saya boleh mengaku, awal bersitatap denganmu, tampangmu sebenarnya memang terlihat menggemaskan. Kembar irismu terlihat seperti garis lurus yang dibentangkan tipis. Tubuhmu nggak gempal seperti om-om lanjut usia, tapi dua bongkah pipimu yang biram tampak padat, berisi. Saya harap kamu nggak memupuk kekesalan pada saya setelah membaca ini ya, Mas.

"Banyu, Banyu Gumilar."

"Saya Gendhis, Mas Banyu."


                    »̶ ̶̶̶ ̶ ̶ ̶̶̶⤹⋆⸙͎。˚۰˚☽˚»̶ ̶̶̶ ̶ ̶ ̶̶̶


Perjumpaan kita yang kedua. Semoga kamu mengingat jelas yang satu ini. Saya harap saat-saat itu masih sering bersliweran di koridor pikiranmu. Kita banyak melangsungkan percakapan sore itu. Mungkin karena sebelumnya sudah saling mengenal, ya? Saya bahagia, sangat. Seperti menemukan kemarau di tengah penghujan. Terima kasih ya, Mas.

28 Juni 2011. Pantai Wediombo, Yogyakarta.

"Lho, Gendhis, kan?"

Ternyata kamu. Kamu yang pertama menyapa saya.

"Kok bisa ketemu lagi?"

Saat itu saya masih bergeming di tempat, kedua kaki terasa kaku dan tegang. Pandangan sempat melompong selama beberapa sekon yang berdenyut lamban. Saya nggak menjawab tanyamu, tentu saja. Ternyata membalas sapaanmu saat itu adalah hal yang mustahil. Kamera analog yang menggelayut di pergelangan tangan saya sudah meronta ingin segera mengembara. Tapi bengong yang manggung gak segera saya sudahi.

"I-iya, Mas. Hehe."

Kaku sekali, saya menyadarinya. Saya jelas malu. Tapi, kamu nggak terlihat mencoba menahan semburan tawa. Kamu diam saja, di sana. Setelah itu kamu menjahit lengkung dari bilah merah jambu, nggak terlalu lebar, tapi berhasil buat saya kesemsem seharian.

"Ke sini sendirian?"

"Nggak, kok. Saya ditemani Bapak sama Ibu."

"Saya sendirian aja, nih. Ikut saya genjreng di sana mau, gak?"

"Tapi kamu harus izin dulu, ya."

Saya baru menyadari bahwa kamu sudah menenteng ukulele. Mungil dan sedikit mengelupas di sudut-sudutnya, tapi cokelatnya masih pekat. Jadi yang kamu maksud genjreng itu ini, ya, Mas?

Saya gak memahami betul, tapi hari itu, Bapak dan Ibu langsung melepaskan putri tunggalnya untuk bertualang bersama orang asing. Tumbenan sekali. Sempat terbesit di kepala saya, mungkin mereka punya firasat baik tentang kita. Tapi, saya buru-buru menghalau pemikiran itu. Ngawur. Saya ini percaya diri sekali.

Sore itu, kita akhirnya memutuskan untuk sedikit melipir. Menyingkir dari kerumun bayang eksistensi yang mulai menyusut. Menjorok mendekati bebatuan karang yang terduduk kalem. Kamu berusaha membangun atmosfer kita sendiri. Hangat dengan rona jingga. Saya selalu menjumput dua sudut bibir untuk ditempatkan ke tepian. Saya nggak bisa menahan senyum.

Sepasang tungkai saya membeku. Relap senja makin dilahap ranum. Perlahan membasuh langit yang masih sumringah. Kamu menghadap sehimpun ombak yang sedari tadi menegur kita.

"Gendhis, sudah petang. Kamu harus segera saya kembalikan."

Dan perjumpaan kita dituntaskan sampai sini.


                    »̶ ̶̶̶ ̶ ̶ ̶̶̶⤹⋆⸙͎。˚۰˚☽˚»̶ ̶̶̶ ̶ ̶ ̶̶̶


Kabar terakhir dari kamu saya dapatkan lima tahun yang lalu. Dari siaran televisi lokal. Saya memang sengaja nggak berusaha mencari tahu entitasmu. Saya memang sengaja nggak meminta nomor ponselmu saat perjumpaan kita yang terakhir. Kalau kamu bertanya alasannya, saya nggak ingin menenggelamkan diri lebih dalam. Saya nggak ingin menggapai dasar kalau pada akhirnya saya akan ikut terlarut bersama serpihan dirimu yang semu. Saya takut dan saya berusaha menghindari kemungkinan terburuk. Saya harap kamu bisa memahaminya.

Saat itu yang saya tahu, kamu telah membaur bersama partikel Jakarta. Ibu kota. Kamu menetap di sana dan dirimu mewujud sebagai salah satu gitaris dari grup musik yang sebelumnya sering manggung di kedai-kedai kopi. Saya sudah menduganya. Profesimu nggak jauh-jauh dari apa yang dulu kamu gemari. Namun, gitar hitam yang terlihat garang di pangkuanmu itu tampaknya sudah mengambil kedudukan ukulele lawasmu.

"Buk, Banu kepengin ajar gitar."

(Buk, Banu ingin belajar gitar.)

"Mangke nggih, Nak. Ngentosi bapakmu kondur."

(Nanti ya, Nak. Nungguin bapakmu pulang.)

Lihat, putra pertama saya mirip kamu. Tidak hanya asmanya saja, tapi juga tabiatnya. Dia mudah diusik rasa takut. Dia selalu mengingatkan saya pada kamu, Mas. Setidaknya hal itu bisa menjadi penawar rasa kangen saya pada sosokmu yang enggan meluntur dari kolong ingatan saya. Bersemayam di sana selama bertahun-tahun. Terkadang, perjumpaan-perjumpaan kita masih hilir mudik memadati tempurung kepala.

"Bapak kondur!" Banu berseru antusias. Dia menunjuk-nunjuk suami saya yang menyembul dari sebalik pintu, tampangnya diperciki lelah. Namun, suami saya tetap mencetak kurva manis untuk si sulung. Sepasang lesung pipi itu hanya dia yang punya. Selalu terlihat memikat.

Mas Arutala mengenal kamu. Namun, dia nggak mengerti seluk-beluk tentangmu. Katanya saat itu, dia nggak terlalu dekat denganmu karena pribadimu yang cenderung kaku. Dia sudah mencoba, tapi tetap nggak berhasil merenggut perhatianmu. Kalian juga pernah menaruh minat pada wanita yang sama saat SMA. Apa kamu masih mengingatnya?

"Banu menyang kamar dhisik, nggih. Bapak kalih ibu ajeng ngendika."

(Banu ke kamar dulu, ya. Bapak sama ibu ingin bicara.)

"Siap, Pak!"

Suami saya menarik kursi, lalu duduk di hadapan saya. Romannya terlihat digelayuti sendu. Lama dia diam, mengelih permukaan meja yang direcoki debu tipis, sedikit murung. Tapi, saya tetap menanti. Raket tenis yang lembab masih berada dalam genggamannya. Mungkin dia nggak sadar.

"Mas, kula pundhutke ngunjuk rumiyin, nggih."

(Mas, saya ambilkan minum dulu, ya.)

"Ndak, ndak usah."

"Dik, kamu masih inget Banyu, ndak?"

"Taksih, Mas. Wonten napa?"

(Masih, Mas. Ada apa?)

Dia menyebut namamu. Tumben sekali. Namun, tiba-tiba saya tertegun. Turut melamun. Kalbu saya rasanya mengganjal, gamang. Kedua bola mata saya berdenyut nyeri, seperti ingin mengucurkan bening asin. Kamu baik-baik saja kan, Mas?

"Mas baru saja dapat kabar. Banyu sudah nggak ada, sore ini."

Ternyata kamu sudah mendahului saya, Mas. Kamu sudah lebih dulu melancong ke cakrawala. Menuju teduhnya nirwana. Saya terkejut, tentu saja. Tapi saya masih membutuhkan waktu untuk merenung, berpikir. Saya nggak menangis, saya juga nggak bertanya lebih lanjut pada suami saya. Yang bisa saya lakukan saat ini hanya diam sembari tafakur.

Sudah sepuluh tahun semenjak hari itu. Bukan waktu yang singkat. Saya menyadarinya. Mungkin kamu dijangkiti komplikasi, mengingat umurmu yang pastinya sudah nggak muda lagi. Mungkin juga tubuh rentamu kena serangan stroke mendadak. Saya nggak mau menerka-nerka lebih jauh. Tapi, saya akan berusaha memaklumi kepergianmu. Saya akan berusaha mengikhlaskan kamu yang sudah punya kediaman baru di sana.

"Mas mau kamu datang ke pemakamannya. Ini kesempatan terakhirmu untuk ketemu dia."


                               


Komentar

Postingan Populer